’’Akhirnya ribut lagi sekarang. Jangan orang per orang ngomong dengan pakaian adat, langsung disebut tokoh adat. Adat yang mana? Lembaga adat yang diakui adalah Majelis Pertimbangan Adat Lampung,’’ kata Oedin, sapaan akrabnya, kemarin.
Menurut dia, konflik yang terjadi saat ini dijadikan pengalaman berharga. Semua permasalahan hendaknya diselesaikan secara berjenjang. Mulai kepala desa, camat, bupati/wali kota, hingga gubernur. Jadi, tidak semua permasalahan langsung diadukan ke pemerintah pusat atau DPR RI. Apalagi tanpa data yang jelas.
Ia mengakui kedatangannya ke Mesuji kala itu karena kecewa ada korban meninggal dari konflik masyarakat dengan perusahaan. ’’Siapa sih nggak kecewa masyarakatnya meninggal? Tidak ada pemerintah yang senang masyarakat meninggal,’’ ujar dia.
Tetapi, lanjutnya, semua permasalahan ini dicari akar masalahnya. ’’Jadi jangan kita membuat masalah. Kalau orang nggak tahu masalah ngomong besar, itu provokator namanya. Belum tahu masalah detail, sudah ngomong. Ngomong besar lagi. Jadi, provokatornya dia,” sergah Oedin.
Karena permasalahan ini sudah diambil alih tim gabungan pencari fakta (TGPF), dirinya tentu melihat langkah pemerintah pusat. ’’Kan presiden sudah bentuk tim, silakan, saya tunggu. Karena tim provinsi tergabung dalam tim pemerintah pusat tentunya. Di bawah kendali pusat, ya saya menunggu,” ujar dia.
Namun, Oedin menolak jika harus memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang menempati Register 45. Ia tidak akan memberikan identitas berupa kartu tanda penduduk (KTP). Menurut dia, pemberian KTP memiliki prosedur. Di mana dalam negara hukum, orang yang pindah ke suatu daerah pasti memiliki surat pindah.
’’Kalau orang nggak jelas asal-usulnya dikasih ktp, nanti ada orang Iran minta ktp di Lampung. Kita lihat ada imigran lewat ke Australia, kalau dikasih gampangnya, minta hak, hak apa? Harus jelas. Ini kan negara hukum,’’ tukasnya.
Terkait hak guna usaha (HGU) perusahaan yang diduga melanggar dan menjadi biang kerok permasalahan, dia berpegang aturan. Jika melanggar, Oedin mempersilakan pihak yang dirugikan mengajukan pelanggarannya. Jika melanggar pidana, maka silakan diajukan ke kejaksaan atau kepolisian.
’’Gitu dong. Kalau melanggar aturan, aturan mana? Laporkan kepada yang keluarkan aturan, yang keluarkan izin. Bupati misalnya, cabut dong. Kan semua kalau dilakukan dengan tertib, dengan benar, sesuai aturan, nggak begini negara kita,” papar Oedin.
Terpisah, Ketua Tim Pencari Fakta Komisi III DPR untuk Kasus Mesuji Azis Syamsuddin meminta Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencabut izin PT Silva Inhutani, perusahaan yang mengelola lahan Register 45.
Masalahnya, kata dia, Register 45 merupakan hutan tanaman industri (HTI) yang penguasaannya di bawah Kemenhut. Namun, izin yang diberikan oleh Kemenhut malah dialihfungsikan oleh perusahaan asal Malaysia itu.
Seharusnya lahan ditanam tanaman hutan, tetapi hasil kunjungan kerja (kunker) Komisi III DPR ke Mesuji menemukan fakta bahwa lahan terebut ditanami tanaman perkebunan. ’’Di atas lahan itu tidak boleh ditanam tanaman lain selain tanaman hutan. Kesalahannya ketika hutan itu diubah menjadi perkebunan sawit, singkong, dan nanas. Itu yang salah. Kemenhut harus mencabut izinnya,’’ tegas Azis usai diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, kemarin.
Bagaimana dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI)? ’’Sama saja. PT BSMI juga harus ditutup,” tukas politisi Partai Golkar itu.
Karenanya, imbuh dia, Komisi III DPR akan membentuk panitia kerja (panja) menyusul kasus perebutan lahan yang berujung kekerasan di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Usulan panja ini akan dibahas dalam rapat pleno komisi III pada 8 Januari 2012.
’’Hasil panja nantinya memberikan rekomendasi kepada pemerintah, lebih ke masalah kebijakannya. Karena masalah sengketa ini kan bukan hanya di Lampung maupun Sumsel, tetapi hampir seluruh daerah di Indonesia,’’ ungkapnya.
Azis juga mengaku heran terkait bertambah luasnya lahan milik PT Silva Inhutani, dari 10 ribu hektare (ha) menjadi 43 ribu ha. Dikatakannya, pada tahun 1986, PT Silva mengantongi izin perkebunan dengan luas lahan 10 ribu ha. Pada tahun 1997 izinnya dicabut dan tiba-tiba pada tahun 2004 PT Silva kembali beroperasi dengan perluasan lahan menjadi 43 ribu ha.
’’Kita nanti juga panggil perusahaan-perusahaan yang bermasalah itu di panja,’’ ucapnya.
Rencananya, panja juga akan memanggil pihak Kemenhut dan pemerintah daerah setempat untuk menjelaskan kenapa bisa terjadi perluasan lahan tersebut.
’’Kita juga akan panggil mereka (Kemenhut dan pemda) di panja, kenapa bisa bertambah. Pemda bilang itu Kemenhut, tetapi Kemenhut bilang itu urusan pemda,’’ pungkasnya.
Sementara, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Denny Indrayana kemarin turun ke Lampung. Dia langsung berkunjung ke Rumah Sakit Imanuel Bandarlampung untuk mengumpulkan informasi dari Muslim (18), salah satu warga Mesuji yang tertembak saat bentrok dengan oknum polisi.
’’Kami diberi waktu 30 hari dimulai tanggal 17 Desember lalu untuk turun mencari fakta yang sebenarnya di Mesuji. Untuk data awal, kami ke sini dulu (menjenguk Muslim, Red) dan besok (hari ini) baru ke Mesuji,’’ katanya di RS Imanuel kemarin.
Sementara, Juru Bicara TGPF Mesuji Indriaswati mengatakan, kedatangan tim ke Lampung untuk memverifikasi keganjilan-keganjilan yang ada dalam proses kerusuhan warga Mesuji di Register 45. ’’Kami akan mengumpulkan data, baik dari korban penembakan ataupun warga yang telah menduduki kawasan Register 45,” ungkapnya. (dna/kyd/yud/sur/c1/ary)
Sumber: Radarlampung.co.id | InfoTerpanas.com
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
0 comments:
Posting Komentar