"Di sini saya sedang melaksanakan tugas negara," teriak salah satu anggota kelompok loreng yang muncul di video itu, sambil memukuli kepala penduduk dengan helm tempur. Sementara yang lain menendangi warga bertubi-tubi.
Ada pula adegan seorang warga Papua dijadikan bulan-bulanan sekelompok orang tak terlihat mukanya. Korban disiksa dengan bagian vitalnya disundut kayu yang dibakar.
Organisasi Hak Asasi Manusia, The Asian Human Rights Commission (AHRC) yang berbasis di Hong Kong yang menyebarkan video ini melalui situs video sharing, YouTube sejak 17 Oktober lalu. Selama tiga hari terakhir video itu menyebar luas, dan memancing kontroversi.
AHRC mengaku rekaman yang diambil di wilayah Tingginambut, Papua Barat itu didapat dari sumber yang dirahasiakan. "Ini hanya satu dari banyak kasus penyiksaan oleh militer di Papua yang dilaporkan pada kami," jelas Direktur Eksekutif AHRC, Wong Kai Shing dalam siaran persnya di situs AHRC bertanggal 17 Oktober 2010.
Panglima Kodam 17 Cendrawasih Mayor Jenderal Hotma Marbun mengatakan pihaknya akan segera membentuk tim untuk menyelidiki, apakah benar pelaku kekerasan adalah prajurit TNI. "Jika benar anggota TNI yang melakukan kekerasan, akan ditindaklanjuti serta diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,'' demikian ucap Pangdam saat dikonfirmasi Rabu 20 Oktober.
Hotma meminta tidak langsung menuduh TNI. "Bisa saja itu bukan dilakukan TNI, inilah yang akan coba diselidiki."
Hal senada juga disampaikan Juru Bicara Kodam, Letkol Susilo. Ia menduga video itu dibuat dan disebarkan dengan tujuan mendiskreditkan TNI. "Seandainya gambar di video itu benar prajurit TNI, kenapa di-blow up? Sementara aksi kekerasan dan pembunuhan sadis yang dilakukan kelompok sipil bersenjata di Papua tidak pernah diangkat. Berarti ini kan kerjaan kelompok tertentu yang selalu ingin merongrong NKRI,'' kata dia.
Namun, apapun hasil penyelidikan nanti, Kodam akan mengumukannya pada publik. "Kami tidak akan menutup-nutupinya," kata Letkol Susilo.
Peneliti senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Amiruddin Al Rahab mengatakan, tak cukup hanya investigasi TNI. Panglima TNI dan KSAD, dia menambahkan, harus membuat tim verifikasi untuk turun ke daerah memeriksa kasus itu. "Nggak perlu ngoceh, bentuk tim, periksa dulu," kata Amiruddin saat dihubungi VIVAnews, Rabu 20 Oktober 2010.
Selain tim dari Mabes TNI, Amiruddin mengusulkan Komnas HAM juga harus mengambil langkah yang sama. Sehingga, ada keseimbangan informasi.
Tak mengejutkan
Dari Papua, pengacara Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar mengaku tak terkejut dengan kemunculan video itu. Menurut Latifah, kenyataan itu kerap ditemui di Papua, dan bahkan lebih buruk.
Menurut Latifah, pemegang gelar “PeaceMaker” dari Joan B. Kroc Institute for Peace and Justice, kekerasan seperti itu bisa terjadi akibat kesalahan mendasar yang dimiliki pemerintah dan aparat Indonesia. Selalu ada anggapan, orang Papua separatis, atau paling tidak pendukung gerakan makar. Dalam bahasa Latifah, pembangunan meletakkan orang Papua di posisi musuh.
Dari dulu kampung-kampung di Papua diberi stigma --pendukung, penyedia senjata atau logistik, dan jadi persinggahan para separatis. Akibatnya, "penyiksaan tidak hanya dialami kelompok separatis, tapi orang-orang kampung. Begitulah yang terjadi sekian lama," ungkap Latifah.
Jika mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI, dia melanjutkan, pemerintah harus melakukan pendekatan kemanusiaan dengan pemahaman konteks lokal dan karakteristik orang Papua, bukannya menebar teror.
Operasi militer?
Senada dengan pendapat AHRC dan Latifah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut video kekerasan yang saat ini beredar hanya bagian kecil dari bangunan kekerasan di Papua.
Tiga pekan sebelum heboh video, Komnas sudah menerima laporan dugaan kekerasan di Bumi Cendrawasih itu. Laporan itu antara lain tentang penemuan potongan kepala terpisah dari badan, pengusiran masyarakat yang menciptakan gelombang pengungsian, dan penyiksaan pendeta Kindeman Gire dan Pitinius Kagoya pada 17 Maret 2010 nama.
Bahkan, di mana keberadaan pendeta Kindeman Gire belum diketahui. Komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo mengaku pihaknya juga menerima laporan adanya rotasi markas batalyon di Nabire yang ke Puncak Jaya --yang diduga terkait dengan insiden ini.
Yoseph juga membenarkan, bahwa diduga pelaku kekerasan adalah militer. Faktanya bisa dilihat dari video yang beredar. Ada warga yang diinterogasi soal Goliath Tabuni -- salah satu aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). "Kalau misalnya bukan militer buat apa nanyain," kata dia.
Dalam waktu dekat Komnas HAM akan ke Papua menemui Pangdam juga Kapolda. Isu besar yang akan dikonfirmasikan adalah, benarkah ada operasi militer di sana. "Soal video, akan ditanyakan terakhir," kata Yoseph.(np)
Video itu sempat diunggah ke youtube.com, tapi saat admin info-panas mencoba masuk, ternyata telah dihapus oleh youtube dengan alasan mengandung kekerasan. This video has been removed as a violation of YouTube's policy on shocking and digusting content.
Tapi jangan kuatir, vivanews telah mengunggahnya. mau lihat? ini dia:
Sumber: Vivanews: http://fokus.vivanews.com/news/read/184015-militer-di-balik-video-sadis-papua-
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
0 comments:
Posting Komentar