Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang ALIRAN AHMADIYAH
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional
MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M,
setelah :
Menimbang :
1. bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya
di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya;
2. bahwa upaya pengembangan faham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat;
3. bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat;
4. bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang Aliran Ahmadiyah.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT., :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. al-Ahzab [33]: 40).
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalanjalan(yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (QS. al-An’am [6]: 153).
“Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS. al-Ma’idah [5]: 105)
.
2. Hadis Nabi SAW antara lain:
“Rasulullah bersabda: Tidak ada nabi sesudahku” (HR. al-Bukhari).
“Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah teputus; karena itu, tidakada rasul maupun nabi sesudahku” (HR.Tirmizi).
Memperhatikan :
1. Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’I (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakin bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW.”
2. Fatwa MUNAS II MUI pada tahun 1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah.
3. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH
1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Ditetapkan: Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua Sekretaris
K.H. Ma’ruf Amin Drs. Hasanuddin, M.Ag
====
Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei – 1 Juni 1980 M. di Jakarta memfatwakan tentang jama’al Ahmadiyah sebagai berikut :
Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalain 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
1. Dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama Indonesia selalu berhubungan dengan Pernerintah. Kemudian Rapat Kerja Nasional bulan 1- 4 Jumadil Akhir 1404 H./4 7 Maret 1984 M., merekomendasikan tentang jama’ah Ahamdiyah tersebut sebagai : berikut :
2. Bahwa Jemaat Ahmadiyah di wilayah Negara Republik Indonesia berstatur sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (Tambahan Berita Negara: tangga131-3-1953 No. 26), bagi ummat Islam menimbulkan :
1. Keresahan karena isi ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam
2. Perpecahan, khususnya dalam hal ubudivah (shalat), bidang munakahat dan lain-lain.
3. Bahaya bagi ketertiban dan keamanan negara.
Maka dengan alasan-alasan tersebut dimohon kepada pihak yang berwenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI JA/22/ 13, tanggal 31-3-1953 (Tambahan Berita Negara No. 26, tanggal 31– – 1953).
Menyerukan :
3. Agar Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para ulama, dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam.
4. Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyah Qadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
5. Kepala seluruh ummat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu
http://mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=33
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
0 comments:
Posting Komentar