Orang beriman pasti yakin bahwasanya tidak ada hukum mana pun dan dari siapa pun yang lebih baik dari pada Hukum Allah SWT. Hukum Sipil maupun Hukum Adat tak kan pernah bisa menandingi Hukum Islam, karena Hukum Islam adalah Hukum Allah SWT. Selain Hukum Islam hanyalah hukum yang penuh dengan kebobrokan, dan hanya akan mengantarkan kepada kehancuran peradaban.
Dalam surat An-Nisaa' ayat 13 dan 14, Allah SWT menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan hukum-Nya harus dipatuhi. Allah SWT menjanjikan Surga bagi siapa saja yang mematuhi ketentuan hukum-Nya, sebaliknya Dia mengancam dengan Neraka bagi siapa saja yang melanggar ketentuan hukum-Nya. Dan ini berlaku bagi semua ketentuan hukum Allah SWT, baik terkait ibadat maupun mu'amalat, perdata atau pun pidana.
Kebobrokan Hukum Indonesia
Masyarakat Indonesia dikejuntukan dengan sejumlah kasus yang menjadi ironi penegakan hukum, antara lain: Kasus Nenek Minah di Banyumas yang memungut tiga butir kakao divonis sebulan lima belas hari. Kasus Basir dan Kholil dari Pasuruan yang dipenjara karena mengambil sebutir semangka. Kasus Manisih dan dua anaknya yang ditahan, dianiaya, diintimidasi dan diperas oknum aparat karena memungut kapuk randu sisa panen senilai dua belas ribu rupiah. Kasus Nenek Rusminah yang ditahan dan disidangkan gara-gara dituduh mencuri tiga piring usang. Sementara itu, Aulia Pohan, Ayin (Artalyta Suryani, red), Anggodo, Gayus, Miranda S Goeltom, Sri Mulyani, serta para aktor Century lainnya, yang telah merugikan negara milyaran hingga trilyunan rupiah, mendapat dispensasi perlakuan hukum dan fasilitas mewah di pejara bak istana, bahkan ada yang seolah kebal hukum, sehingga tidak tersentuh hingga sekarang. Bobrok betul hukum kita !
Diskriminasi hukum macam inilah yang telah menjadi penyebab kehancuran bangsa-bangsa terdahulu, sebagaimana riwayat hadits muttafaqun 'alaih yang bersumber dari Sayyidah 'Aisyah RA bahwa Nabi SAW pernah menegur keras Usamah RA yang meminta dispensasi bagi seorang wanita makhzumiyyah (salah satu anak suku Quraisy) yang terbukti mencuri. Beliau SAW menyatakan : "Hai Usamah, apakah kau ingin memberi petolongan dalam hukum yang sudah ditentukan Allah SWT ?! Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu dahulu karena jika seorang terpandang dari pada mereka mencuri dibiarkan tidak dihukum, sedangkan jika seorang lemah dari pada mereka mencuri dihukum berat. Demi Allah, andaikata Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya".
Lihatlah sistem hukum yang dibangun Nabi SAW, begitu kokoh berdiri di atas kejujuran, keadilan dan ketegasan. Dan lihatlah bagaimana Nabi SAW memberi contoh karakter yang semestinya dimiliki para penegak hukum, karena sistem hukum yang baik, apabila dijalankan oleh penegak hukum yang bejat, maka hasilnya akan bobrok sebagai akibat dari penyelewengan sistem yang dilakukan oleh si penegak hukum yang bejat tersebut. Pelajaran penting : sistem hukum yang baik dan dijalankan dengan penegak hukum yang baik pula, maka hasilnya pasti baik. Subhaanallaah !
Kebobrokan hukum di Indonesia bersumber dari kebobrokan sistem hukumnya. Jika sistem hukum sudah bobrok, walau dijalankan oleh penegak hukum yang baik, hasilnya tetap bobrok, apalagi jika dijalankan oleh penegak hukum yang bejat, maka hasilnya lebih bobrok lagi.
Penjara Dalam Sistem Hukum Indonesia menjadi satu-satunya jenis sanksi hukum yang paling diandalkan, karena sistem hukum Indonesia menganut sistem Hukum Sipil Barat. Padahal, penjara mestinya jadi pilihan terakhir dalam suatu sistem hukum, karena penjara tidak efektik, tidak solutif dan tidak produktif. Bahkan idealnya, negara itu dibangun tanpa penjara. Lalu hukum mana yang bisa menjadikan penjara sebagai pilihan terakhir dari sistemnya? Dan bagaimana pula cara membangun negara tanpa penjara?.
Hukum Positif
Jika kita mendengar istilah Hukum Positif disebut, maka yang terlintas di benak banyak orang adalah produk Hukum Sipil. Padahal penggunaan istilah tersebut yang diperuntukkan secara khusus bagi Hukum Sipil harus dikaji ulang dan dikoreksi kembali, karena jika Hukum Sipil disebut Hukum Positif, maka logikanya selain Hukum Sipil adalah Hukum Negatif, termasuk Hukum Islam. Inilah, salah satu perang istilah yang harus dimenangkan oleh umat Islam.
Standar apa yang digunakan untuk menentukan kepositifan suatu jenis hukum?. Standar sekularisasinya atau standar kemampuannya dalam menuntaskan persoalan hukum?. Jika standar pertama yang jadi tolok ukur, maka jelas sangat subjektif, sehingga naif dan tidak ilmiah. Sdengan jika standar kedua yang jadi tolok ukur, maka harus dibuktikan dulu, apa benar Hukum Sipil sehebat itu ?. Karenanya, perlu dibuat komparasi hukum untuk mengetahui kemampuan suatu jenis hukum dalam menuntaskan persoalan hukum, sehingga perlu dilakukan studi banding antara Hukum Sipil dengan Hukum Islam, misalnya dalam kasus pembunuhan.
Jika si A membunuh si B dengan sengaja, maka dalam Hukum Sipil maupun Hukum Islam si A sebagai pelaku pembunuhan harus diperiksa, disidik dan diadili. Proses hukum tersebut harus dilaksanakan untuk pembuktian hukum secara adil dan jujur, agar tidak terjadi kesalahan dalam menjatuhkan sanksi hukum. Hanya saja, Hukum Sipil dan Hukum Islam memiliki perbedaan besar yang sangat mendasar, baik dalam proses penetapan vonis mau pun dalam jenis sanksi untuk pelaku pembunuhan. Dan perbedaan tersebut sangat menentukan untuk mengetahui mana jenis sanksi hukum yang mampu menyelesaikan masalah hingga tuntas dan mana yang tidak.
Hukum Sipil
Dalam kasus pembunuhan seperti contoh di atas, jika ditangani dengan Hukum Sipil, yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berlaku di Indonesia, maka si pelaku dianca hukuman mati, tapi dalam banyak kasus hanya dipenjara dengan berbagai masa hukuman, mulai dari tahunan, belasan tahun hingga puluhan tahun. Itu pun tanpa memperhatikan pandangan atau kondisi keluarga korban, seperti isteri korban yang jadi janda atau anak-anaknya yang jadi yatim atau keluarga lainnya yang selama ini jadi tanggungannya. Hukum Sipil tersebut menyisakan banyak persoalan, bahkan melahirkan problem baru di tengah kehidupan masyarakat. Pertama, problem sosial yang dihadapi keluarga korban sepeninggal tulang-punggung keluarganya. Misalnya, jika si isteri korban yang jadi janda dan anak-anaknya yang jadi yatim terlantar, atau jika si isteri jatuh sakit karena tak kuat menanggung beban hidup yang teramat berat sehingga anak-anaknya terbengkalai, atau jika si isteri tak kuat iman lalu jual diri dengan melacur untuk bertahan hidup, atau mungkin bunuh diri karena putus asa, bahkan bisa jadi bunuh diri masal bersama anak-anak yatimnya. Semua problem sosial tersebut merupakan akibat dari penerapan sanksi hukum KUHP yang tidak berperikemanusiaan, sehingga menjadi produk Hukum Sipil yang kejam dan biadab.
Kedua, problem dendam keluarga korban yang tidak tuntas, sehingga api dendam tersebut akan terus membara dan bisa membakar kapan saja. Misalnya, jika si pembunuh bebas setelah usai menjalani hukuman belasan tahun, lalu menjadi sasaran balas dendam dari keluarga korban, sehingga ia dibunuh lagi. Maka dendam tersebut tidak akan berkesudahan, karena keluarga si pembunuh tidak akan terima anggota keluarganya yang telah menjalani hukuman belasan tahun lalu dibunuh juga, sehingga lahir lagi dendam baru, yang kemudian ke depan akan menjadi dendam kesumat turun temurun antar dua keluarga, dan seterusnya. Problem ini pun merupakan produk Hukum Sipil yang keji, karena telah dengan sengaja melestarikan dendam dan memelihara permusuhan serta menyuburkan kebencian.
Ketiga, problem pemborosan uang negara, karena negara dibebankan untuk membangun penjara bagi para pembunuh, lengkap dengan sarana dan prasarananya seperti ruang sel, air dan listrik, termasuk juga keperluan hidup mereka seperti makanan, minuman dan kesehatan. Belum lagi gaji dan kesejahteraan para petugas Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan. Problem ini juga merupakan produk Hukum Sipil yang bodoh, karena telah menghamburkan uang negara untuk hal yang sebenarnya tidak perlu.
Keempat, problem efek jera. Selama ini, penjara tidak efektik membuat jera pelaku pembunuhan. Kehidupan dalam penjara di Indonesia tidak manusiawi, sehingga LP sering diplesetkan sebagai kependekan dari Lembaga Pembinatangan. Seorang pencuri masuk penjara, setelah keluar malah jadi perampok. Seorang pembunuh masuk penjara, setelah keluar makin bernafsu untuk membunuh lagi. Problem macam ini juga merupakan produk Hukum Sipil yang tidak efektif, karena tidak memiliki efek jera yang memadai.
Kelima, problem rasa aman masyarakat, karena pembunuh yang tak jera. Bila si pembunuh bebas, lalu makin petantang-petenteng menebar ancaman untuk membunuh siapa saja yang tak disukainya, tentu akan meresahkan kehidupan masyarakat. Problem ini adalah produk Hukum Sipil yang lemah, karena tidak mampu memberikan jaminan keamanan sebagaimana mestinya.
Kesimpulannya, Hukum Sipil tidak menuntaskan masalah, bahkan menyisakan banyak persoalan dan melahirkan problem baru ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum Islam
Masih dalam kasus pembunuhan seperti contoh di atas, jika ditangani dengan Hukum Islam, setelah terbukti di Mahkamah Syariah bahwa si pembunuh memang bersalah, maka Mahkamah memberikan dua opsi bagi keluarga korban, yaitu : Qishosh atau Diyat. Jika Qishosh yang dipilih, maka nyawa harus dibayar dengan nyawa, sehingga si pembunuh harus divonis hukum mati oleh Mahkamah. Sdengan jika Diyat yang dipilih, maka keluarga korban berhak mendpt denda jiwa berupa seratus ekor unta, atau di Indonesia berupa seratus ekor sapi / kerbau, atau harganya, yang wajib dibayar si pembunuh, baik dibayar sendiri jika mampu, atau dibantu keluarga dekat dan jauh jika tidak mampu.
Dengan demikian, jika keluarga korban ingin melampiaskan dendam secara elegan dan terhormat serta benar secara hukum, atau ingin menjaga kehormatan dengan nyawa dibayar nyawa, maka bisa memilih opsi pertama, yaitu Qishosh, sehingga dendam tuntas saat itu juga. Dan jika keluarga korban bersikap lebih arif dan bijak dengan memaafkan si pembunuh, maka si pembunuh terbebas dari sanksi hukuman mati, tapi si pembunuh secara sendiri atau bersama keluarga dekat dan jauhnya, wajib membayar denda berupa seratus ekor sapi / kerbau atau harganya. Itu pun berarti dendam sudah tuntas, karena sudah dimaafkan oleh keluarga korban.
Jadi, dalam Hukum Islam terkait pembunuhan, posisi keluarga korban sangat strategis dan menentukan, serta kepentingannya sangat diperhatikan. Dari mekanisme pengambilan keputusan Mahkamah Syariah hingga kedua opsi vonisnya tersebut, maka Hukum Islam tidak menyisakan persoalan dan tidak melahirkan problem baru di tengah kehidupan masyarakat, bahkan menjadi hukum yang efektif dan solutif.
Pertama, Hukum Islam memberi kesempatan kepada keluarga korban untuk mendapat Diyat (denda jiwa), yang akan sangat manfaat bagi keluarga korban, khususnya untuk isterinya yang jadi janda dan anak-anaknya yang jadi yatim, atau anggota keluarga ahli waris lainnya, sehingga menghilangkan problem sosial yang dihadapi keluarga korban sepeninggal tulang-punggung keluarganya.
Kedua, Hukum Islam memberi kesempatan kepada keluarga korban untuk membalas dendam dengan cara yang elegan dan terhormat, sehingga tidak melahirkan problem dendam baru, apalagi dendam kesumat yang turun temurun. Tentu saja, Islam bukan agama balas dendam, tapi Islam agama yang sangat memahami fitrah manusia yang pendendam, sehingga Islam memberi solusi hukum dan obat mujarab agar penyakit dendam terobati dan tidak berkelanjutan.
Ketiga, menghemat pengeluaran negara, karena tidak perlu membangun penjara untuk para pembunuh, kalau pun ada penjara hanya sekedar Rutan untuk menanti vonis. Opsi sanksi hukum mana pun yang dipilih keluarga korban untuk si pembunuh, Qishosh atau Diyat, maka penjara tidak diperlukan lagi.
Keempat, menciptakan efek jera yang meluas, baik bagi si pelaku pembunuhan mau pun bagi yang lainnya. Dengan Qishosh si pembunuh tidak bisa lagi melakukan pembunuhan kedua kalinya, dan bagi yang lain akan berpikir seribu kali untuk membunuh, karena membunuh berarti dibunuh. Kalau pun lolos dari hukum mati karena kebaikan hati keluarga korban, maka masih harus membayar Diyat yang sangat berat.
Kelima, menjamin rasa aman masyarakat, karena jika si pembunuh dihukum mati, maka satu ancaman hilang dari kehidupan masyarakat, bahkan menjadi jaminan kehidupan bagi masyarakat luas dari ancaman pembunuhan. Kalau pun si pembunuh lolos dari ancaman Qishosh karena dimaafkan oleh keluarga korban, tapi Diyat yang berat akan membuat dirinya jera, apalagi jika keluarga ikut membayar Diyat, maka seluruh keluarga si pembunuh akan ikut mengontrolnya agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Orang lain pun dengan keluarganya masing-masing akan saling menjaga dan mengingatkan agar tidak melakukan pembunuhan, karena membunuh berarti dibunuh, atau sekurangnya menguras harta yang tidak sedikit.
Itulah rahasianya, dalam surat Al-Baqarah ayat 179, Allah SWT menyatakan bahwa dalam Qishoh ada kehidupan. Dengan Qishosh, seorang pembunuh dihukum mati, sehingga tidak bisa melakukan pembunuhan lagi, berarti kehidupan bagi orang lain. Dengan Qishosh, orang akan takut untuk membunuh, sehingga masyarakat aman dari pembunuhan, berarti kehidupan bagi orang banyak. Dengan Qishosh, menghukum mati satu pembunuh berarti menyelamatkan kehidupan banyak orang. Alhamdulillaah!
Selain itu, penerapan Hukum Islam dalam kasus pembunuhan memiliki manfaat agama yang luar biasa, antara lain: Pertama, mendatangkan pengampunan dari Allah SWT kepada si pembunuh, manakala ia menyesal dan ridho dengan Hukum Allah SWT. Kedua, mendatangkan keberkahan dari Allah SWT bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dimensi Hukum
Barat menuduh bahwa Hukum Islam tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah hukum yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas, terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Barat lah yang tidak manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir yang terburuk.
Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi, apalagi Dimensi Ukhrowi. Sedeang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan. Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati, penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku Qodzaf dicambuk delapan puluh kali, pemberontak diperangi, pembunuhan dan penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh atau Diyat. Sdengan selain pidana di atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu sesuai dengan ijtihad hakim atau ketetapan undang2 negara, selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum Ta'zir ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial, hingga yang berat seperti kerja paksa dan hukuman mati.
Ada segelintir orang bodoh dari kalangan Liberal menyatakan bahwa dengan hukum potong tangan pencuri, maka akan banyak orang yang cacat karena dipotong tangannya. Namun orang-orang cerdas dari gerakan Islam menyatakan: justru dengan potong tangan seorang pencuri, maka orang lain tidak berani mencuri, sehingga tidak ada lagi pencurian dan tidak perlu ada lagi yang dipotong tangannya.
Kesimpulan
Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa Hukum Sipil tidak layak disebut sebagai Hukum Positif, karena mengakibatkan banyak hal yang negatif, seperti problem sosial, pewarisan dendam, pemborosan uang negara, tidak ada efek jera, dan tidak menjamin rasa aman masyarakat. Selain itu, Hukum Sipil tidak memiliki manfaat agama seperti pengampunan dan keberkahan, bahkan sebaliknya hanya menambah dosa dan menghilangkan keberkahan, sehingga membuat negara semakin bobrok dan hancur.
Sdengan Hukum Islam jelas manfaat agamanya, dan menuntaskan masalah hingga ke akar persoalannya. Hukum Islam sangat solutif, efektif dan produktif. Berbagai hal positif dilahirkan oleh Hukum Islam, sehingga patut disebut sebagai Hukum Positif.
Dengan demikian, sesuai standar kemampuan suatu jenis hukum dalam menuntaskan persoalan hukum, maka Hukum Sipil tidak pantas disebut sebagai Hukum Positif, tapi Hukum Islam lah yang paling pantas menyandangnya, sehingga sudah sepatutnya Hukum Islam diformalisasikan sebagai Undang-Undang Negara Republik Indonesia.
Akhirnya, yakinlah bahwa dengan Syariat Islam mestinya kita mampu membangun NEGARA TANPA PENJARA. Insya Allah. Facebook: http://www.facebook.com/note.php?note_id=481891818292&comments
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
0 comments:
Posting Komentar