Sebagai orang kepercayaan HOS. Cokroaminoto yang terkenal itu, maka kartosuwiryo pernah menjabat sekjen partai tersebut pada tahun 1931. Dan kemudian beliau Kartosuwiryo duduk dalam pucuk pimpinan partai tersebut sampai pada tahun 1939, pada tahun mana beliau di pecat dari PSII karena perbedaan visi politik dengan beberapa tokoh partai tersebut tentang konsep hijarnya S.M.Kartosuwiryo. sebagaimana di ketahui bahwa partai PSII adalah sebuah partai politik yang mempunyai disiplin baja dan bertindak keras terhadap siapapun yang melawan disiplin organisasi. Dalam SI tidak ada tokoh yang besar atau kecil, di mata organisasi semua orang sama derajadnya. Maka tidak usah heran jika tokoh-tokoh seperti Dr.Sukiman, Agus Salim, A.M.Sangaji, Mr.Mohammdan Roem, Kartosuwiryo, Abikusno dan terakhir Anwar Cokroaminoto, semuanya mengalami tindakan pemecatan dari Partai Syarian Islam.
Dan terhadap Muhammadiyah, sayap moderat Syariat Islam (Karena didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan, salah seorang anggota pucuk pimpinan SI di bawah cokroaminoto) pun dikenakan disiplin organisasi. Sebabnya , karena Muhammadiyah menerima subsidi (uang) dari pemerintahan kolonial Belanda mulai tahun 1926 di saat orang-orang lain melawan dengan sengitnya.
Bukan hanya SI saja yang marah pada Muhammadiyah, tapi juga kaum pergerakan lainnya. Mr.AK.Pringgodigdo, dalam bukunya yang terkenal “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”, mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berada diluar pagar perjuangan. Penyakit “Mengemis” dan meminta bantuan Pemerintah itu tetap berlanjut sampai akhir ini. Dan hal inilah yang melemahkan semangat juang Muhammadiyah, dan karena itu pula Muhammadiyah mudah mengikuti arus dan mudah didikte sekalipun untuk mencoret asas Islam dari Undang-Undang Dasarnya sendiri. Ya , oportunis dan menjual diri dengan harga yang murah untuk membela yang bathil.
Sebagai orang yang konsekuen terhadap sikapnya, beliau Kartosuwiryo rela dipecat dari partainya sendiri, bahkan rela menyongsong maut ditembus peluru dalam memperjuangkan “Darul Islam” yang dicetuskan pada tanggal 07 Agustus 1949 di Jawa Barat. Beliau tertangkap pada tanggal 04 juni 1962, setelah bergerilya 13 tahun lamanya. Kemudian beliau Kartosuwiryo di eksekusi mati pada bulan September 1962.
Konon untuk berubah dari tuntutan hukuman mati, kepadanya diminta supaya bersedia mencabut bai’atnya dan membatalkan proklamasi “Darus Islam”. Akan tetapi tawaran tersebut beliau tolak dan rela syahid ditembus peluru yang berlumuran darah. Itulah dia sikap pejuang yang jantan dan istiqomah, konsekuen dalam membela pendirinya. Cuma ada pertanyaan masyarakat yang belum terjawab sampai kini. Mengapa begitu cepat dieksekusi mati? Padahal Dr.Subandrio, tokoh G30S/PKI juga telah divonis mati, tetapi belum dilaksanakan juga, malah akhirnya dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Soeharto. Mengapa ada ukuran ganda dalam pelaksanaan hukuman???
Bandingkanlah keteguhan pendiri Kartosuwiryo ini dengan sikap tokoh Masyumi yang menyerah kalah dalam pemberontakan PRRI/RPI di Sumatera. Untuk keluar bebas dari tahanan politik, kepada mereka disodorkan surat perjanjian yang berisi antara lain ; Berjanji taat kepada Pancasila dan UUD 1945. padahal meraka telah tegas menolak Pancasila dan UUD’45 itu dalam sidang konstituante Bandung pada tahun 1957. Jelas mereka tidak istiqomah, tidak konsekuen serta tidak konsisten. Maka dapat dikatakan mereka tidak lulus dari testing politik, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Kartosuwiryo, Sebenarnya kalau mereka menolak juga tidak ada resikonya.
Saya kira pemerintah menyodorkan surat perjanjian itu hanyalah sekedar “ujian” dan gertak belaka, karena hal itu tidak ada dalam peraturan atau undang-undang yang mewajibkan tahanan politik untuk untuk bebas dari tahanan, terlebih dahulu harus menandatangani suatu perjanjian atau membuat sebuah skripsi.
Mendapat Restu Panglima Besar Jendral Sudirman
Setelah perjanjian Renvile ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1947, maka pasukan Siliwangi harus “hijrah” dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai oleh Belanda. Jelas , perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jendral Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI tersebut.
Diatas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman : “Apakah siasat ini tidak merugikan kita?” maka pak Sudirman menjawab, “Saya telah menempatkan orang kita disana” seperti apa yang dikatakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya pada 10 November dan mantan menteri dalam negeri Kabinet Burhanudin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul “Himbauan” yang ditulis beliau pada tanggal 07 September 1977, mengatakan bahwa pak Karto atau Kartosuwiryo , telah mendapat restu dari Panglima Besar Jendral Sudirman.
Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meningalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau Kartosuwiryo pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jendral Sudirman kepada wartawan Antara diatas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud”orang kita” atau orangnya Sudirman itu tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementrian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri “Arudji Kartawinata” . Dapatlah dimengerti kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI/TII , dan yang menumpasnya adalah Jendral AH.Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji!!. Apakah itu bukan dosa???
Berjuang Mewujudkan Cita-Cita
Setelah memperhatikan kondisi dan situasi serta membaca peta politik, maka Kartosuwiryo mulai berjuang untuk mewujudkan cita-citanya. “Dalam manifesto politiknya yang dikeluarkan tidak lama setelah proklamasi (Negara Islam Indonesia, SIN) dirancang dan diadakannya Konferensi Meja Bundar yang menuju terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Kartosuwiryo menerangkan, bahwa kini telah tiba saatnya untuk menentukan nasib Bangsa Indonesia, Khususnya umat Islam, agar dapat tercapai Mardhatillah. Ini adalah satu-satunya cara (jalan) yang akan melepaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan, di dunia dan di akhirat. Musuh Allah, (musuh) agama, dan (musuh) Negara Islam Indonesia haruslah dibinasakan, agar hukum Islam yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an, sunnah Nabi dapat terwujud secara lengkap di seluruh Indonesia”
Negara Islam
Darul Islam atau Negara Islam itulah puncak cita-cita Kartosuwiryo yang hendak dicapainya dengan perjuangan yang gagah berani.
Sementara itu ada pihak-pihak yang sinis mengatakan bahwa Negara Islam itu tidak ada dalam Al Qur’an. Inilah bicara yang tidak bertanggung jawab, karena kurangnya ilmu dan pengertian terhadap kita suci Al Qur’an . yang amat menyedihkan ucapan itu keluar dari kaum intelektual atau sarjana yang pernah belajar di negeri sekuler di luar negeri, walaupun yang mengucapkan anak ulama sendiri, ironisnya itulah para orang tua mereka dahulu setiap pidato dimana-mana meneriakkan agar terwujudnya Negara Islam, sedangkan anak-anak mereka membatalkan apa yang telah dikatakan dan diperjuangkan oleh orang tuanya, bahwa dalam Al Qur’an tidak ada perintah Mendirikan Negara Islam.
Numpang Tanya??? Apakah dalam UUD’45 ada kata Pancasila? Tidak ada! Kata Pancasila memang jelas tidak ada, tetapi bila orang mau mengerti dan membaca dengan teliti maka jelas makna Pancasila ada dalam Mukaddimah UUD 1945 .
Demikian pula dalam Al Qur’an , tidak ada terdapat dan tertulis kata “Darul Islam” atau Negara Islam. Tetapi bila orang mengerti dan mau mendalami pengetahuan Agama Islam terutama tengtang tafsir Al Qur’an, maka tidak akan ragu lagi bahwa mereka akan banyak bertemu dengan ayat-ayat Al Qur’an yang mengarah dan menuju Negara Islam itu. Ya, dapatlah dikatakan bahwa 6.236 ayat dalam Al Qur’an yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman untuk membentuk masyarakat dan Negara Islam yang sempurna dan Ideal.
Ambilah sebuah ayat dalam Al Qur’an , yang artinya berbunyi : “Masuklah kalian ke dalam Islam secara total menyeluruh, dan janganlah kalian ikuti langkah- langkap Syetan” (Q.S. Al-Baqarah, 2:208 )
Maksud total menyeluruh (kaffah) itu adalah dalam seluruh lapangan dan sector kehidupan masyarakat dan Negara. Umat Islam harus islami berdasarkan Islam, politik, ekonomi, cultural, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain. Seluruhnya harus berdasarkan Islam. Sayangnya ayat ini tidak direnungkan dan diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan perjuangan kaum muslimin. Kaum intelektual kita lebih senang mengeluti dan menghayati kitab-kitab atau buku-buku iptek saja, buku-buku ekonomi atau buku-buku keagamaan yang ditulis oleh kaum orientalis yang anti Islam atau yang menuduh orang-orang yang ingin menerapkan ajaran Al Qur’an dan sunnah secara murni, konsekuen dan konsisten sebagai “Fundamentalis dan Ekstrimis”.
Dan Alhamdulilah mahasiswa-mahasiswa Islam yang lulusan Universitas atau Perguruan Tinggi Islam tidak ada terdengar yang berlaku sinis terhadap kitab suci Al Quran itu, bahkan mereka ingin berjuang menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dan Negara, Yang sinis itu pada umumnya orang-orang yang pengetahuan agamanya terlalu minim atau Imannya lemah atau bahkan rusak karena sudah diracuni oleh ajaran-ajaran sekuler yang sesat dan menyesatkan banyak orang. Seperti yang dilakukan oleh kaum nasionalis yang sekuler “kafir”
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 208 itu “Allah” melarang kita menuruti langkah setan yang menyesatkan kita, jadi menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah, menyimpang dari masyarakat dan Negara Islam itu berarti menuruti syetan yang merugikan dan menyesatkan kaum muslimin.
Dan dalam manifesto politik Kartosuwiryo seperti yang disebutkan diatas tadi, jelaskan bahwa beliau mengajak umat Islam untuk mencapai Mardhatillah, yaitu dengan menegakan hukum Islam yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rosul itulah Cita- cita Kartosuwiryo yang ingin dicapainya dengan pejuangan yang gagah perkasa.
Penutup
Terus terang penulis ini bukanlah pengikut Islam S.M.Kartosuwiryo, tetapi kita semua dapat menghargai pemimpin yang jujur dan ikhlas berjihad memperjuangkan cita- citanya sebagaimana halnya Kartosuwiryo . Ia syahid sebelum cita-citanya tercapai, namun dia telah menebus cita-citanya yang mulia itu dengan darah dan jiwanya sendiri. Seperti halnya pemimpin-pemimping Ikhwanul Muslimin di Mesir yang syahid di atas tiang gantungan musuh-musuhnya yang dzhalim, Berbeda dengan Abdul Qadir Audah , seorang hakim dan sarjana hukum di kairo yang divonis mati dan dieksekusi di tiang gantungan, tetapi persatuan pengacara Mesir memprotes dan sepakat menuntut pemerintahannya supaya diadakan sidang pengadilan ulangan untuk mengetahui bagaimana jalannya pengadilan itu supaya diketahui umum. Dan terhadap Kartosuwiryo yang divonis dalam sidang pengadilan tertutup, tak seorangpun pengacara Indonesia atau persatuan pengacara yang menuntut ulang bagaimana sidang pengadilan berlangsung. Namun demikian ia tetap dipandang dan dicatat sejarah sebagai pemimpin yang istiqomah, konsekuen, dan konsisten sampai akhir hayatnya.
Buku yang berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad S.M.Kartosuwiryo” ini adalah bertujuan untuk mengabadikan sang Imam Negara Islam Indonesia. Untuk melestarikan cita-cita dan perjuangannya walaupun jasad beliau telah terbaring dipangkuan ibu pertiwi sejak 1962 lalu.
Kata orang , Menulis sebuah biografi berarti menghidupkan tokohnya kembali. Dan menurut para pengikutnya, Imam Kartosuwiryo tetap hidup dan belum mati, dia masih hidup dalam hati dan jiwa mereka sebagai pemimpin Islam yang militant dan revolusioner.
Allah berfirman: “Janganlah kamu berkata tentang orang yang shahid di jalan Allah bahwa mereka itu telah mati. Tidak! Mereka itu tetap hidup, meskipun kamu tidak menyukainya”. ( Q.S. Al Baqarah :154 )
Buku ini patut dan perlu dibaca oleh generasi penerus dan pelurus agar mereka tidak terpedaya oleh sejarah yang sudah mengalami distorsi masa kini “ Manipulasi atau distorsi sejarah yang memutar balikkan fakta sejarah yang secara mencolok adalah terjadi pada Budi Utomo yang dijadikan tongak sejarah pergerakan Nasional Indonesia. Padahal bukan budi utomo yang merupakan partai politik pertama, tetapi Syarian Islam pertama kali bernama “Syariat Dagang Islam “ lahir pada tahun 1905. disamping itu Budi Utomo bukanlah partai rakyat yang menantang penjajah Belanda, tetapi golongan kaum priyayi yang menjadi anak mas dan bekerja sama dengan Belanda. Anggota Budi Utomo tidak ada yang masuk penjara, dibuang ke Digul atau yang ditembak mati oleh Belanda. Tetapi para tokoh-tokoh Syariat Islam berdesak-desak masuk penjara yang sempit, ditembak mati atau dibuang ke Digul (Irian Barat. Budi Utomo bukanlah bersifat Nasional, tetapi regional dan anggotanya terbatas pada suku, bangsa tertentu saja “Jawa dan Madura” selain itu tidak boleh menjadi anggotanya. Sedangkah tokoh-tokoh Syariat Islam mencakup seluruh suku Bangsa Indonesia , Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan , atau bisa dikatakan partai yang benar-benar bersifat Nasional. Budi Utomo tidak mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, akan tetapi Syariat Islam mengatarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan itu. Budi Utomo sekuler dan anti Islam, oleh karena itu dikutuk oleh kaum muslimin dan bubar pada tahun 1935. Tetapi aneh nya dia diperingati sebagai tongak sejarah Indonesia. Itulah distorsi sejarah yang harus dikoreksi dan diperbaiki oleh para generasi penerus. Jangan mau saja menelan fakta yang sudah diputar balikan, demi kebenaran. Para generasi penerus harus membuka matanya untuk memberantas kepalsuan demi tegaknya keadilah sejarah yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya.”
Buku ini akan banyak manfaatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan tentang sejarah perjuangan untuk menegakkan Syariat Islam di Indonesia. Demikian hendaknya. Amien! Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wabillahi Fie Sabilil Haq
K.H. Firdaus A.N
(Kata Pengantar K.H. Firdaus A.N pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad S.M.Kartosuwiryo" yang ditulis oleh Irfan S. Awwas)
Internet Rating: 4.5
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
1 comments:
Setelah saya membaca buku ini , saya jadi ingat ketika densus 88 menangkap yang diduga Nurdin .M Top di temangggung, kelihatannya sangat represif, orang sudah dikepung kok, kok di bom bertubi tubi, toh setelah operasi selesai ternyata bukan N.M.Top. Begitu juga buku ini menceritakan bahwa. Karto suwiryo begtu cepat diexkusi, tapi Subandrio bisa bebas. INI YANG JADI PERTANYAAN BESAR ?
Posting Komentar