“Rubbish”, komentar Nawab singkat usai membaca laporan setebal 181 halaman itu. Mahasiswa tingkat doktoral di Australian National University, Canberra, Australia itu menilai laporan Setara Institute berjudul “Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat; Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” itu bak laporan sampah.
Tak ayal, lelaki yang sedang menyelesaikan disertasinya tentang sebuah gerakan Islam di Indonesia itu menuding Setara hanya mengejar dolar.
Tak berlebihan jika Nawab berkata demikian. Hasil ‘riset’ yang dibiayai lembaga dari Amerika, United States Agency for International Development (USAID) itu jelas-jelas menghasilkan kesimpulan yang bukan saja salah, tapi juga penuh fitnah dan provokatif.
Dengan sesuka hatinya, Setara Institute melabeli Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB), Gerakan Reformis Islam (GARIS), Tholiban dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Cirebon sebagai organisasi Islam radikal yang mengancam kebebasan beragama/berkeyakinan. Padahal ormas-ormas inilah yang selama ini getol membela akidah umat Islam dari kesesatan Ahmadiyah dan pemurtadan, menjaga moral bangsa dari serangan pornografi dan pornoaksi serta melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar lainnya.
Tak puas sekedar menuding organisasi, Setara juga menyebut lima nama tokoh Islam sebagai aktor utama radikalisme di Jabodetabek dan Jawa Barat. Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab, Sekjen FUI KH.Muhammad Al Khaththath, Ketua umum GARIS H. Chep Hernawan, Pimpinan LP3Syi Garut KH.Muhammad Qudsi Nawawi, dan Ketua FUI Cirebon Profesor Salim Badjri mereka tuduh memiliki keterkaitan historis dengan berbagai organisasi-organisasi radikal, baik transnasional maupun lokal.
LSM yang berkantor di Benhil Jakarta Pusat itu berkesimpulan bahwa radikalisme disebabkan oleh dua hal, genealogi masa lalu dan frustrasi sosial akibat kesejahteraan yang tidak merata. Menurut mereka, secara ideologis radikalisme berakar dari gerakan Masyumi, Darul Islam (DI) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Yang menggelikan, mereka menuduh bahwa radikalisme disebabkan oleh frustrasi sosial akibat kesejahteraan yang tidak merata. Artinya mereka menganggap bahwa para pelaku tindakan ‘radikal’ itu adalah orang-orang miskin dan marjinal.
“Radikalisme jangan-jangan juga tidak mempunyai akar ideologi, tetapi pragmatisme. Dimana radikalisme bukan proses aktualisasi ideologi, tetapi aktualisasi mencari rizki. Jangan-jangan, saya tidak tahu persis", kata Abdul Mu’thi sembari menduga-duga, Senin (10/11/2011).
Laporan ngawur dan menyesatkan itu pertama kali disampaikan dalam konferensi pers pada 22 Desember 2010. Untuk kedua kalinya, pada 10 Januari 2011, bertempat di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, laporan itu kembali dibahas dalam bentuk diskusi publik. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai bahkan hadir dalam acara itu. Ada kesamaan agenda antara BNPT dengan Setara Institute, yakni deradikalisasi Islam.
Laporan Ngawur
Jika dicermati, laporan LSM liberal yang dipimpin oleh Hendardi itu akan banyak ditemui hal-hal yang bertentangan dengan fakta, bahkan saling kontradiktif. Pada halaman 80 misalnya, mereka menulis Habib Rizieq Syihab tidak menyelesaikan studi S-2nya di Malaysia, padahal kini Habib Rizieq malah sedang menyelesaikan program doktoralnya. Setara memasukkan FUI sebagai organisasi radikal, padahal dalam ‘riset’ yang mereka lakukan, tidak ada masyarakat yang mempersepsikan FUI sebagai ormas radikal yang gemar melakukan kekerasan (hal. 64-65). Setara juga menuduh, orang-orang seperti Al Khaththath, Ismail Yusanto, Cholil Ridwan adalah tokoh radikal yang menyusup ke tubuh MUI. Padahal keberadaan mereka di MUI sah berdasarkan Surat Keputusan (SK) yang sah pula.
Terkait dana, rupanya Setara melakukan kesalahan yang sangat fatal. Sepertinya mereka terlalu memaksakan diri menulis hal ini. Sebagai contoh, mereka melaporkan bahwa Suara Islam (SI) didanai sejumlah politisi Partai Gerindra. Selain itu juga oleh Bio Additive OCTANE N, Es Pisang Hijau, Bakso Qalbu dan Royal Java Tour and Travel. Kesimpulan ini mereka dapatkan setelah ‘mengintip’ website resmi SI (www.suara-islam.com) dan membeli sebuah tabloid SI edisi 103. Naif bukan?!.
Sumber data yang dirujuk Setara juga sangat tidak valid. Data soal FUI misalnya, mereka dapatkan dari hasil wawancara dengan Aktivis HTI di dua kota, Jakarta dan Depok. Sebagian data soal FPI, malah didapatkan dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka Insiden Monas 1 Juni 2008. Kemungkinannya, kata salah seorang ketua DPP FPI,Munarman, mereka dapatkan data itu dari sumber intelijen. Sisanya, data soal FAPB, GARIS dan sebagainya juga didapatkan dari hasil wawancara dengan orang-orang yang tidak jelas.
Sementara tokoh-tokoh yang mereka sebut, seperti Habib Rizieq, Al Khaththath, Chep Hernawan, Salim Badjri, Muhammad Qudsy juga mengaku tidak pernah dihubungi pihak Setara. Padahal tidak ada satu kesulitanpun untuk menghubungi mereka. Sementara dalam laporan itu nama mereka disebut puluhan kali dalam banyak tempat. Kata Forum Umat Islam (FUI) misalnya, disebut setidaknya 160 kali di 30 tempat. Sedangkan nama Muhammad Al Khaththath disebut sebanyak 21 kali di 13 tempat.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto juga membantah bila ada kadernya yang pernah diwawancarai Setara. “Setiap wawancara untuk penelitian harus seizin Jubir dan tidak pernah ada ajuan izin dari Setara Institute”, jawab Ismail saat dikonfirmasi SI.
Hendardi berdalih bahwa pernyataan para tokoh-tokoh itu sudah banyak tersebar di media massa. Karena itu menurutnya tidak perlu lagi melakukan konfirmasi. “Masa pernyataan mereka akan berbeda antara di media dengan di depan Setara”, kilahnya.
Sementara ‘peneliti’ sekaligus penulis laporan Setara Institute, Ismail Hasani berlindung dibalik metode penelitiannya. Ismail berkilah tidak ditulisnya nama narasumber dalam laporannya itu dibenarkan dalam metode Covert Indepth Interview. Sehingga nama, waktu dan tempat boleh tidak disebutkan. “Maaf mas, kami harus melindungi sumber-sumber kami”, katanya.
Sebenarnya semua itu terjadi karena mereka memang tidak sungguh-sungguh melakukan riset. Data-data yang mereka kumpulkan mayoritas berasal dari sumber sekunder yang tidak valid. Padahal untuk mendapatkan data primer, tidaklah sulit. Artinya, peneliti Setara Institute malas melakukan pencarian data primer. Untuk tidak dikatakan bahwa memang mereka jahat dan benci terhadap gerakan Islam.
Antek Zionis Internasional
Direktur An Nashr Institute Munarman menilai laporan Setara Institute yang diklaim sebagai hasil penelitian itu tak lebih hanyalah ilusi alias khayalan belaka. Sejatinya laporan tersebut telah didesain oleh jaringan Zionis internasional, Rand Corporation. Setara Institute dituding Munarman sekedar mencari uang recehan dari USAID.
Rand Corporation sendiri adalah sebuah Pusat Penelitian dan Pengkajian Strategi tentang Islam dan Timur Tengah, yang berpusat di Santa Monica, California dan Arington, Virginia, Amerika Serikat. Beroperasi atas biaya Smith Richardson Foundation. Rand Corporation dulunya adalah perusahaan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California yang didirikan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kini perusahaan tersebut melihat dirinya sebagai lembaga think tank independen, walaupun sebagian besar dana untuk 800 orang staf penelitinya diperoleh dari pengerjaan proyek penelitian badan militer AS, Pentagon.
Munarman menjelaskan ada kesamaan agenda antara Setara Institute, Moderate Muslim Society (MMS) dan BNPT dengan Rand Corporation dalam proyek deradikalisasi Islam. Semua itu berangkat dari dua laporan Rand Corporation yang dikeluarkan pada tahun 2003 dan 2007 berjudul “Civil Democratic Islam; Partners, Resources, and Strategies” dan “Building Moderate Muslim Networks”.
“Dokumen itu baru disetujui pemerintah AS pada tahun 2008. Laporan Setara itu hanya bahasa lokal dari laporan Rand Corporation itu," tambahnya.
Dengan menggunakan isu radikalisme, kata Munarman, berarti Setara Institute telah melakukan kekerasan simbolik dan mengarahkan kepada kekerasan struktural, dengan menggunakan institusi hukum. “Supaya bila negara melakukan tindak kekerasan kepada ormas-ormas Islam itu, masyarakat bisa menerima. Saat ini mereka sedang bermain pada level opini”, jelas Ketua Tim Advokasi FUI itu.
Wamakaruu wamakarallah, wallahu khairul makirin.
(shodiq ramadhan) Suara Islam
facebook comment :
Jangan Lupa pencet tombol "Like" Untuk Mendapatkan Info Terpanas Langsung di Wall FB mu!
0 comments:
Posting Komentar